MADRASAHKU
Di ujung desa dekat jembatan
Bangunan tua berdiri kokoh
Tiangnya mulai rapuh dimakan usia
Tapi sejarah belum berhenti di sana
Madrasahku....
Jasamu tak sebanding dengan rupamu
Di bawah atapmu
Kerudung-kerudung putih berjajar rapi
Dalam balutan kerudung itu wajah lugu nan suci tersenyum
ceria
Para anak lelaki dengan kopya hitam menyapa gembira
Sedang tangan mereka memeluk kitab di depan dada
Madrasahku...
Di sana dulu kami menimba ilmu
Ilmu akhirat dan ilmu dunia
Banyak kenangan yang selalu terkenang
Tersusun rapi seperti atap-atapmu yang kusam
Madrasahku....
Pohon itu kini menua
Rantingnya mulai kurus kering keriput
Tapi rumput-rumput itu tetap saja muda
Karena dipangkas setiap saat
Seperti kami...
Kami datang dan pergi silih berganti
Membawa kabar gembira ke penjuru negeri
Anak-anak muda berakhlak mulia dan tangkas
Siap mengabdi untuk bangsa dengan ikhlas
Madrasahku...
Suatu saat kau akan rebah atau sama sekali berganti wajah
Tapi jejakmu akan tetap kami kenal
Di sanalah kaki-kaki kami dulu menapak
Meninggalkan bekas yang tak akan pernah lepas
Sebab madrasahku...
Dari sanalah kami mengenal hikmah
Mengenal kelembutan dalam kerasnya kehidupan
Mengenal terang dalam gelapnya peradaban
Mengenal senyum dalam tangis yang memilukan
Madrasahku...
Lepaskankan pelukanmu
Sudahi ratapan itu
Dan bebaskan lengan kami
Biarkan kami terjun dalam peperangan
Memperjuangkan kemenangan untuk negeri dan agama ini
PUISI DUKA
Seorang gadis kecil berkerudung kusut
Duduk seorang diri di tengah padang rumput
Matanya memandang hamparan luas
Sedang jari-jari kecilnya memegang pena dan secarik
kertas
Dia ingin menulis layaknya pujangga
Mengukir kata indah dalam untaian bahasa
Menari-nari dalam kiasan kata
Bernyanyi dalam merdunya suara hati
Tapi ia galau
Penanya tak beringsut dari satu titik
Tak ada goresan di kertas itu
Tak ada kebahagiaan yang pantas diukir
Ia lalu bertanya...
Apakah puisi hanya untuk kebahagiaan?
Pantaskah duka diabadikan?
Daun kering jatuh di hadapannya lalu berkata
“Tulislah tentangku, daun kering malang
Diceraikan ranting, dihempas badai
Tapi tulislah di penghujungnya bahwa bahagia akan selalu ada
Tapi tulislah di penghujungnya bahwa bahagia akan selalu ada
Sebab akhirnya aku jatuh dan bertemu denganmu hai anak
manis berhati mulia”
Anak itupun mulai menulis
Puisi duka tentang hidupnya yang lara
Lalu disisipkannya doa di ujungnya
Untuk akhir yang bahagia
(Kendari, 9th Feb 2013 )
DENDAM KESUMAT
Sudah barang tentu waktu berlalu
Membawa kenangan dalam sulaman ingatan
Satu dua peristiwa terseret waktu
Terbawa dalam langkah seribu
Kucoba lemparkan ia ke masa lalu
Tapi kenangan itu terlalu pilu
Terbayang slalu dalam benakku
Kebencian pun datang mendekat
Mencengkeram hati dendam kesumat
Dialah sebab dari semua akibat
Yang pernah membuat hatiku tersayat
Kebencian itu kini jadi amarah
Sesakkan dada
nafas terengah
“Matilah kau” kataku pongah
Layaknya singa
yang haus darah
Di pelupuk mata terlukis kata
Yang pernah ku dengar dari ibunda
“Maafkanlah, lapangkan dada
Maka hidupku akan bahagia”
Seketika aku tersadar
Mohon ampun ucap istigfar
(Kendari, 10th Feb 2013 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar