PERANG SAUDARA
Malam gelap pekat. Udara dingin merambat memaksa
badan menekuk rapat. Sayup-sayup serangga berderik, tikus mengerat, kucing
sesenggukan dan anjing –anjing melolong di kejauhan. Rintik gerimis menambah
dinginnya malam. Sianar lampu berpendar membuat titik air berbinar-binar di atas aspal. Tapi di ujung lorong, suara kerumunan orang
menyobek sunyinya malam. Orang- orang
berebut masuk ke tengah kerumunan. Lalu
suara jeritan, istigfar, isak tangis, dan makian silih berganti terdengar,
memanaskan dinginnya malam. Para lelaki dengan muka masam dan garang sambil
tangan mengepal penuh dendam sementara perempuan-perempuan meringis dan
menangis ketakutan.
Adit penasaran. Ia mencoba menyeruak kerumunan. “
Apa yang terjadi?” tanyanya dalam hati. Rupanya! Sesosok mayat tergeletak
bersimbah darah. Sebilah pisau masih tertancap di perutnya. Matanya terbelalak
kesakitan. Gerimis menerpa darah, menyapu jalan yang sesaat jadi merah, mengalir bersama airmata sahabat –sahabat yang
menyaksikan.
“ Beni!Adit berteriak lalu berlutut memeluk mayat yang
ternyata sahabatnya, Beni.
“ Biadab! Siapa yang telah membunuhnya!”
Ditutupnya mata sahabatnya. Peristiwa itu seperti
kilat. Datang begitu saja tanpa rencana. Kenapa harus dia yang
kehilangan nyawa. Begitu cepatnya dengan cara yang tak sepantasnya pula.
Kedua bola mata Adit memerah, semerah wajahnya
yang menahan sedih dan amarah. Beni dikenalnya sewaktu SMA. Di sanalah kenangan
mereka dimulai. Tapi seseorang telah membunuhnya dengan semena-mena. “Biadab!”
makinya sekali lagi.
“ Korban
ditikam hingga meninggal oleh tiga orang pemuda dari kampung Mawar yang tengah
mabuk. Mereka menghadang korban sepulang dari rumah kerabatnya” . Itulah cerita
singkat kematian Beni yang tersohor dari mulut ke mulut dan media massa di kota
itu.
***
“ Bunuh mereka! Bunuh, Ayo bunuh! teriak seorang
lelaki dengan suara lantang di depan kerumunan orang.
“ Ayo, bunuh mereka! Mereka harus membayar
kematian Beni sahabat kita, warga kampung kita. Kita punya harga diri. Kita
tidak terima dihina seperti itu!!!” Sambung Adit berapi-api.
“Benar,bunuh saja!” sahut suara-suara
segerombol laki-laki dengan suara yang tak kalah lantangnya.
Malam ini Adit dan orang-orang kampung Melati
menyerang kampung Mawar.
Menuntut balas atas kematian saudaranya sekampung. Puluhan lelaki bersiap
dengan persenjataan mereka, parang, tombak, busur, pisau dan apa saja yang
kiranya bisa melukai bahkan kalau perlu menghabisi nyawa orang-orang kampung
Mawar. Kemudian “ Serbuuu!!! Satu kalimat yang menggelorakan darah mereka.
Memantik api dendam yang berkobar di dalam dada. Sejurus kemudian gemuruh
langkah kaki terdengar seperti
langkah-langkah kuda di medan perang. Mereka meyerang membabi buta.
Mengobrak-abrik apapun di hadapannya, menendang , menikam, membacok bahkan
membakar rumah-rumah di kampung Mawar.
Orang-orang kampung Mawar lari luntung-lantang.
Tak ada persiapan menahan serangan yang datang
tiba-tiba. Bahkan tidak sedikit yang tidak mengerti mengapa mereka diserang tapi sekarang bukan saatnya berpikir. Tak ada
waktu, sekarang adalah waktunya lari dan bersembunyi. Kaum pria mencoba menyelamatkan
diri, sementara perempuan dan anak-anak menjerit-jerit menyaksikan para lelaki
dihujani tinju, tendangan dan tusukan.
Asap hitam mengepul di udara bersatu dengan gelap
malam dan mendung kelabu yang membuat suasana makin mencekam menderu-deru.
Setelah beberapa lama ‘Liu…liu…liu
dor…dor..dor!!” Suara sirene dan tembakan polisi memecah langit. Tapi telat.
Semua sudah berakhir. Tak ada lagi keributan. Mereka kabur bagai tikus yang
dengan cepatnya masuk ke liangnya. Yang tinggal hanyalah asap sisa kebakaran,
isakan tangis dan korban –korban yng mengaduh kesakitan. Ada yang nyaris mati
bahkan ada yang benar-benar mati. Tinggalah sedih dan sepi yang bercokol di
dalam hati.
***
“ Hallo “
“ Hallo, Kak”
“ Adit, kamu baik-baik saja kan?” Kakak dengar baru baru ini di
kampung ada kerusuhan”
“Oh, Benar , kak . Tapi saya baik-baik saja di
sini.
“ Ckckck kenapa sih di zaman sekarang kok masih ada
orang yang menyelesaikan masalah dengan amarah, padahal segala sesuatu itu bisa
dibicarakan baik-baik”
“ Iya, benar , Kak”. Adit menanggapi seadanya.
“ Kamu nggak ikut-ikutan bentrok kan?
“ Hmmm ng…gak kok, Kak” jawab Adit ragu –ragu. “ Bukankah aku salah seorang yang menyerang kampung Mawar
tempo hari ” Bisiknya dalam hati. “ Aku kan putra kampung ini, pembunuhan itu
telah menginjak -injak harga diri dan martabat kami. Sebagai anak kampung Mawar
sepatutnyalah aku membelanya”.
“ Hallo…hallo Adit, kamu masih di sana?
“ Ya, Hallo, Kak ” Adit tersentak dari lamunannya.
“ Ngomong –ngomong besok Kakak
mau ke kampung. Kakak ambil cuti sekalian kunjungi nenek.
“ Yang benar, Kak? Kalau begitu
jangan lupa oleh- olehnya ya!
“ Iya, Kakak bawakan duren yang banyak”. Ya, sudahlah kalau begitu”.
Assalamualaikum.
“ Ya, Kak . Waalaikum salam.
***
Di sore hari yang mendung di musim penghujan ini.
“ Hallo, Dit. Kamu buruan ke rumah sakit Sehat Sejahtera. Kak Fajar
ditikam orang ”. Suara yang terdengar terburu- buru dan panik.
“ Apa! Iya saya akan segera ke
sana!”
Adit berlarian menyusuri koridor rumah sakit. Kepanikan yang menguasai
dirinya membuat detak jantungnya berantakan. Keringatnya bercucuran membasahi
dahinya yang lapang.
“Permisi, Pak. Dimana ruang UGD?”
“ Oh, terus saja lalu belok ke kiri!”
“ Terimakasih, Pak.”
Anita, Sepupu Adit berjalan mondar-mandir di depan ruangan tempat kak
Fajar dirawat. Raut wajahnya tergambar perasaan
cemas dan khawatir. Dengan langkah setengah berlari Adit menghampirinya.
“ Bagaimana
keadaan Kak Fajar?”
“ Kritis, lukanya serius.” Jawab Anita penuh
kekhawatiran.
“ Apa yang terjadi, kenapa Kak Fajar bisa ditikam
dan siapa pelakunya?”
“ Entahlah, Kak. Menurut saksi mata, Kak Fajar
dihadang di perjalanan menuju ke kampung. Tapi tidak diketahui siapa pelakunya
karena menggunakan penutup wajah dan langsung kabur . Untungnya ada orang yang
kebetulan melintas dan membawa kak Fajar ke sini.”
“ Jadi begitu ceritanya. Kakak yakin pasti
pelakunya orang-orang kampung Mawar. Brengsek!”
“ Tapi sudahlah ,Kak! Masalah itu biar polisi
yang urus, yang terpenting sekarang kita berdoa agar Kak Fajar cepat sadar dan
pulih kembali.”
Adit mengangguk tapi dalam hatinya ia tak mau
diam begitu saja. Naluri kejantanannya meraung -raung tak terima dengan apa yang
terjadi saat ini.” Kenapa harus Kak Fajar , dia tak seharusnya jadi korban. Dia
tidak tau apa-apa. Siapa mereka ? apa maunya? Apa mereka masih belum puas?
Sepertinya mereka masih harus diberi pelajaran lagi. Tunggu saja tanggal
mainnya!”
***
Semalaman Adit
menunggui Kak Fajar yang sampai saat ini kondisinya masih kritis. Duka
yang mendalam merasuki jiwanya. Betapa
tidak, ia telah kehilangan sahabatnya dan kini Kak Fajar pula yang jadi
korbannya. Apalagi Adit sangat menyayangi Kak Fajar. Ia begitu dekat dengannya.
Baginya, Kak Fajar adalah inspirasi hidupnya. Ia sudah seperti ayah keduanya.
Dulu, Kak Fajar lah yang mampu menghentikan kebiasaan buruknya merokok. Kak
Fajar pula yang mampu mendorongnya untuk terus lanjut sekolah sampai di perguruan
Tinggi. Adit tak akan pernah rela kalau ada yang menyakiti beliau bahkan
membuatnya berada di ujung maut seperti saat ini. Adit belum pernah merasa
terpukul seberat ini. Ia sangat berduka meskipun tanpa harus meneteskan airmata
seperti lazimnya para lelaki.
***
Langkahnya lesu menyusuri koridor Rumah Sakit.
Duka dan kantuk benar benar telah menguras tenaganya. Tapi ia harus tetap
berjalan dan pulang, karena pagi ini ada ujian di kampus. Tak seberapa jauh
melangkah, ia melihat seorang
perempuan yang dari wajahnya
terlihat kebingungan, datang dari arah yang berlawanan. Seorang ibu dengan
wajah kuyu dan lesu serta mata
cekung dan sembab. Mungkin terlalu
sering menangis. Rambutnya tampak kusut dan
memudar dimakan usia.
Perempuan itu kini tinggal beberapa langkah di
hadapannya. Setelah menyadari keberadaan Adit, sekilas senyumnya mengembang,
tergambar sedikit kebahagiaan di wajahnya. Ya, hanya sedikit. Entah mengapa,
mungkin duka yang dirasakannya saat ini lebih dalam dan menyiksa.
‘” Permisi, Dik. Bisa mengganggu sebentar. Saya
sedang mencari anak saya, katanya dirawat di sini,. Tapi saya tidak tahu di
ruang mana ia dirawat, makanya saya bingung..Adik bisa membantu saya ?“
“ Oh iya Bu, dengan senang hati. Maaf nama anak
Ibu siapa ya?”
“ Namaya Lia, lengkapnya Nurliawaty..”
“ Baiklah, kita tanyakan saja apakah anak Ibu
dirawat dirumah Sakit ini atau tidak dan dimana ruangannya”
“ Temikasih, Dik, Adik mau membantu saya. Saya
sangat khawatir dengan kondisi anak saya. Dia anak saya satu-satunya. Satu-satunya harapan saya. ” Perempuan itu
seolah ingin mencurahkan seluruh perasaannya pada Adit. Airmatanya berlinang
membasahi kedua pipinya. Adit dapat
menangkap perasaan duka yang medalam dari warna mukanya”
“ Tenanglah , Bu.
Mudah-mudahan anak Ibu baik-baik saja. Kalau boleh tau anak Ibu sakit
apa ya?”
“ Itulah dia yang saya sayangkan. Dia tidak
sakit. Kami tinggal di kampung seberang. Pekan lalu ia berkunjung ke kantor lurah
kampung Mawar untuk keperluan penelitiannya, dan malamnya
menginap di rumah kawannya di kampung Mawar. Tapi naas ia datang pada saat yang
bersamaan dengan kerusuhan yang terjadi di kampung Mawar. Akhirnya dia dan
kawannya juga jadi korban. Pagi harinya saya mendapat kabar kalau anak saya
mengalami luka parah di kepalanya dan dirawat di sini. Tapi saya tidak dapat
segera ke sini karena tidak ada kapal yang berlayar karena ombak besar
...…Kenapa harus dia, anak saya tidak tahu apa apa…” Perempuan itu mengusap
airmatanya yang membanjiri pipinya.
“ Gubrakkk! “ Jantung Adit serasa copot mendengar
cerita itu. Ia tak menyangka Lia adalah salah satu korban penyerangan itu. Penyerangan yang ia lakukan bersama orang-orang di kampungnya. Rasa bersalah membayangi perasaan Adit yang
kian tidak menentu.
***
Malam ini
pikiran Adit kacau. Hatinya diliputi kerisauan dan kegelisahan. Kejadian yang
terjadi belakangan ini benar-benar mengusik ketenangannya. Setiap saat muncul
sosok perempuan tua yang ditemuinya di Rumah Sakit dan wajah Kak Fajar yang
tergambar jelas di ingatannya.
“ Kasihan sekali mereka, mereka tak tahu apa-apa
tapi mengapa harus mereka yang jadi korban “
Rasa bersalah terus menerus menghantui pikirannya
tapi terus menerus pula ia mencoba membela dirinya.” Ah, tidak ada perang tanpa ada korban salah sasaran, mereka
hanyalah korban-korban di luar perencanaan” ungkapnya menghibur diri.
Namun akhirnya pertarungan batinnya mereda
setelah ia mencoba untuk
mengabaikan egonya. “ Seharusya kejadian itu tak perlu terjadi.
Seharusnya tak boleh ada lagi korban -korban seperti Beni. Oh, kenapa kami
memerangi orang -orang kampung Mawar hanya karena tiga begundal itu. Sungguh
tidak adil jika kami menyebut “mereka bertiga”
dengan ” mereka semua”. Cintaku pada sahabat dan kampungku begitu besar
tapi kenapa cinta itu kubiarkan menjadi benih -benih bencana. Bukankah cinta
selalu mendatangkan kedamaian. Maafkan aku Tuhan jika aku melukai dan membunuh
atas nama cinta. Kemana sesungguhnya arah perjuanganku?. Dulu pahlawan-pahlawan
itu berjuang untuk mempersatukan saudara-saudaranya di nusantara ini, tapi kini
kami berjuang untuk memerangi saudara kami sendiri”
(by Jihan Tary Published in kdi pos: October 22nd 2011)
puisinya cukup bagus,...tapi baca kok terasa membosankan,//??!!
BalasHapus