Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 Februari 2013

My Short Story


PERANG SAUDARA

Malam gelap pekat. Udara dingin merambat memaksa badan menekuk rapat. Sayup-sayup serangga berderik, tikus mengerat, kucing sesenggukan dan anjing –anjing melolong di kejauhan. Rintik gerimis menambah dinginnya malam. Sianar lampu berpendar membuat titik air berbinar-binar di atas aspal. Tapi di ujung lorong, suara kerumunan orang menyobek sunyinya  malam. Orang- orang berebut masuk ke tengah  kerumunan. Lalu suara jeritan, istigfar, isak tangis, dan makian silih berganti terdengar, memanaskan dinginnya malam. Para lelaki dengan muka masam dan garang sambil tangan mengepal penuh dendam sementara perempuan-perempuan meringis dan menangis ketakutan.
Adit penasaran. Ia mencoba menyeruak kerumunan. “ Apa yang terjadi?” tanyanya dalam hati. Rupanya! Sesosok mayat tergeletak bersimbah darah. Sebilah pisau masih tertancap di perutnya. Matanya terbelalak kesakitan. Gerimis menerpa darah, menyapu jalan yang sesaat jadi merah, mengalir bersama airmata sahabat –sahabat yang menyaksikan.
“ Beni!Adit berteriak lalu berlutut memeluk mayat yang ternyata sahabatnya, Beni.
“ Biadab! Siapa yang telah membunuhnya!”
Ditutupnya mata sahabatnya. Peristiwa itu seperti kilat. Datang  begitu  saja tanpa rencana. Kenapa harus dia yang kehilangan nyawa. Begitu cepatnya dengan cara yang tak sepantasnya pula. 
Kedua bola mata Adit memerah, semerah wajahnya yang menahan sedih dan amarah. Beni dikenalnya sewaktu SMA. Di sanalah kenangan mereka dimulai. Tapi seseorang telah membunuhnya dengan semena-mena. “Biadab!” makinya sekali lagi.
Korban ditikam hingga meninggal oleh tiga orang pemuda dari kampung Mawar yang tengah mabuk. Mereka menghadang korban sepulang dari rumah kerabatnya” . Itulah cerita singkat kematian Beni yang tersohor dari mulut ke mulut dan media massa di kota itu.
***
“ Bunuh mereka! Bunuh, Ayo bunuh! teriak  seorang lelaki dengan suara lantang di depan kerumunan orang.
“ Ayo, bunuh mereka! Mereka harus membayar kematian Beni sahabat kita, warga kampung kita. Kita punya harga diri. Kita tidak terima dihina seperti itu!!!” Sambung Adit berapi-api.
“Benar,bunuh saja!” sahut suara-suara segerombol  laki-laki dengan suara  yang tak kalah lantangnya.
Malam ini Adit dan orang-orang kampung Melati menyerang kampung  Mawar. Menuntut balas atas kematian saudaranya sekampung. Puluhan lelaki bersiap dengan persenjataan mereka, parang, tombak, busur, pisau dan apa saja yang kiranya bisa melukai bahkan kalau perlu menghabisi nyawa orang-orang kampung Mawar. Kemudian “ Serbuuu!!! Satu kalimat yang menggelorakan darah mereka. Memantik api dendam yang berkobar di dalam dada. Sejurus kemudian gemuruh langkah kaki terdengar  seperti langkah-langkah kuda di medan perang. Mereka meyerang membabi buta. Mengobrak-abrik apapun di hadapannya, menendang , menikam, membacok bahkan membakar rumah-rumah di kampung Mawar.
Orang-orang kampung Mawar lari luntung-lantang. Tak ada persiapan menahan serangan yang datang tiba-tiba. Bahkan tidak sedikit yang tidak mengerti  mengapa mereka diserang tapi sekarang bukan saatnya berpikir. Tak ada waktu, sekarang adalah waktunya lari dan bersembunyi. Kaum pria mencoba menyelamatkan diri, sementara perempuan dan anak-anak menjerit-jerit menyaksikan para lelaki dihujani tinju, tendangan dan tusukan.
Asap hitam mengepul di udara bersatu dengan gelap malam dan mendung kelabu yang membuat suasana makin mencekam menderu-deru. Setelah beberapa lama  ‘Liu…liu…liu dor…dor..dor!!” Suara sirene dan tembakan polisi memecah langit. Tapi telat. Semua sudah berakhir. Tak ada lagi keributan. Mereka kabur bagai tikus yang dengan cepatnya masuk ke liangnya. Yang tinggal hanyalah asap sisa kebakaran, isakan tangis dan korban –korban yng mengaduh kesakitan. Ada yang nyaris mati bahkan ada yang benar-benar mati. Tinggalah sedih dan sepi yang bercokol di dalam hati.
***
“ Hallo “
“ Hallo, Kak”
“ Adit, kamu baik-baik saja kan?” Kakak dengar baru baru ini di kampung ada kerusuhan”
Oh, Benar , kak . Tapi saya baik-baik saja di sini.
Ckckck kenapa sih di zaman sekarang kok masih ada orang yang menyelesaikan masalah dengan amarah, padahal segala sesuatu itu bisa dibicarakan baik-baik”
“ Iya, benar , Kak”. Adit menanggapi seadanya.
“ Kamu nggak ikut-ikutan bentrok kan?
“ Hmmm ng…gak kok, Kak” jawab Adit ragu –ragu. “ Bukankah aku salah seorang yang menyerang kampung Mawar tempo hari ” Bisiknya dalam hati. “ Aku kan putra kampung ini, pembunuhan itu telah menginjak -injak harga diri dan martabat kami. Sebagai anak kampung Mawar sepatutnyalah aku membelanya”.
“ Hallo…hallo Adit, kamu masih di sana?
“ Ya, Hallo, Kak ” Adit tersentak dari lamunannya.
“ Ngomong –ngomong besok Kakak mau ke kampung. Kakak ambil cuti sekalian kunjungi nenek.
“ Yang benar, Kak? Kalau begitu jangan lupa oleh- olehnya ya!
“ Iya, Kakak bawakan duren yang banyak”. Ya, sudahlah kalau begitu”. Assalamualaikum.
“ Ya, Kak . Waalaikum salam.
***
Di sore hari yang mendung di musim penghujan ini.
“ Hallo, Dit. Kamu buruan ke rumah sakit Sehat Sejahtera. Kak Fajar ditikam orang ”. Suara yang terdengar terburu- buru dan panik.
  Apa! Iya saya akan segera ke sana!”
Adit berlarian menyusuri koridor rumah sakit. Kepanikan yang menguasai dirinya membuat detak jantungnya berantakan. Keringatnya bercucuran membasahi dahinya yang lapang.
“Permisi, Pak. Dimana ruang UGD?”
“ Oh, terus saja lalu belok ke kiri!”
“ Terimakasih, Pak.”
Anita, Sepupu Adit berjalan mondar-mandir di depan ruangan tempat kak Fajar dirawat. Raut wajahnya tergambar perasaan cemas dan khawatir. Dengan langkah setengah berlari Adit menghampirinya.

  “ Bagaimana keadaan Kak Fajar?”
“ Kritis, lukanya serius.” Jawab Anita penuh kekhawatiran.
“ Apa yang terjadi, kenapa Kak Fajar bisa ditikam dan siapa pelakunya?”
“ Entahlah, Kak. Menurut saksi mata, Kak Fajar dihadang di perjalanan menuju ke kampung. Tapi tidak diketahui siapa pelakunya karena menggunakan penutup wajah dan langsung kabur . Untungnya ada orang yang kebetulan melintas dan membawa kak Fajar ke sini.”
“ Jadi begitu ceritanya. Kakak yakin pasti pelakunya orang-orang kampung Mawar. Brengsek!”
“ Tapi sudahlah ,Kak! Masalah itu biar polisi yang urus, yang terpenting sekarang kita berdoa agar Kak Fajar cepat sadar dan pulih kembali.”
Adit mengangguk tapi dalam hatinya ia tak mau diam begitu saja. Naluri kejantanannya meraung -raung tak terima dengan apa yang terjadi saat ini.” Kenapa harus Kak Fajar , dia tak seharusnya jadi korban. Dia tidak tau apa-apa. Siapa mereka ? apa maunya? Apa mereka masih belum puas? Sepertinya mereka masih harus diberi pelajaran lagi. Tunggu saja tanggal mainnya!”
***
Semalaman Adit  menunggui Kak Fajar yang sampai saat ini kondisinya masih kritis. Duka yang mendalam merasuki  jiwanya. Betapa tidak, ia telah kehilangan sahabatnya dan kini Kak Fajar pula yang jadi korbannya. Apalagi Adit sangat menyayangi Kak Fajar. Ia begitu dekat dengannya. Baginya, Kak Fajar adalah inspirasi hidupnya. Ia sudah seperti ayah keduanya. Dulu, Kak Fajar lah yang mampu menghentikan kebiasaan buruknya merokok. Kak Fajar pula yang mampu mendorongnya untuk terus lanjut sekolah sampai di perguruan Tinggi. Adit tak akan pernah rela kalau ada yang menyakiti beliau bahkan membuatnya berada di ujung maut seperti saat ini. Adit belum pernah merasa terpukul seberat ini. Ia sangat berduka meskipun tanpa harus meneteskan airmata seperti lazimnya para lelaki.
***
Langkahnya lesu menyusuri koridor Rumah Sakit. Duka dan kantuk benar benar telah menguras tenaganya. Tapi ia harus tetap berjalan dan pulang, karena pagi ini ada ujian di kampus. Tak seberapa jauh melangkah, ia melihat seorang  perempuan  yang dari wajahnya terlihat kebingungan, datang dari arah yang berlawanan. Seorang ibu dengan wajah kuyu dan lesu  serta mata cekung  dan sembab. Mungkin terlalu sering menangis. Rambutnya tampak kusut dan memudar dimakan usia.
Perempuan itu kini tinggal beberapa langkah di hadapannya. Setelah menyadari keberadaan Adit, sekilas senyumnya mengembang, tergambar sedikit kebahagiaan di wajahnya. Ya, hanya sedikit. Entah mengapa, mungkin duka yang dirasakannya saat ini lebih dalam dan menyiksa.
‘” Permisi, Dik. Bisa mengganggu sebentar. Saya sedang mencari anak saya, katanya dirawat di sini,. Tapi saya tidak tahu di ruang mana ia dirawat, makanya saya bingung..Adik bisa membantu saya ?“
“ Oh iya Bu, dengan senang hati. Maaf nama anak Ibu siapa ya?”
“ Namaya Lia, lengkapnya Nurliawaty..”
“ Baiklah, kita tanyakan saja apakah anak Ibu dirawat dirumah Sakit ini atau tidak dan dimana ruangannya”
“ Temikasih, Dik, Adik mau membantu saya. Saya sangat khawatir dengan kondisi anak saya. Dia anak saya satu-satunya. Satu-satunya harapan saya. ” Perempuan itu seolah ingin mencurahkan seluruh perasaannya pada Adit. Airmatanya berlinang membasahi  kedua pipinya. Adit dapat menangkap perasaan duka yang medalam dari warna mukanya”
“ Tenanglah , Bu.  Mudah-mudahan anak Ibu baik-baik saja. Kalau boleh tau anak Ibu sakit apa ya?”
“ Itulah dia yang saya sayangkan. Dia tidak sakit. Kami tinggal di kampung  seberang. Pekan lalu ia berkunjung ke kantor lurah kampung Mawar untuk keperluan penelitiannya, dan malamnya menginap di rumah kawannya di kampung Mawar. Tapi naas ia datang pada saat yang bersamaan dengan kerusuhan yang terjadi di kampung Mawar. Akhirnya dia dan kawannya juga jadi korban. Pagi harinya saya mendapat kabar kalau anak saya mengalami luka parah di kepalanya dan dirawat di sini. Tapi saya tidak dapat segera ke sini karena tidak ada kapal yang berlayar karena ombak besar ...…Kenapa harus dia, anak saya tidak tahu apa apa…” Perempuan itu mengusap airmatanya yang membanjiri pipinya.
“ Gubrakkk! “ Jantung Adit serasa copot mendengar cerita itu. Ia tak menyangka Lia adalah salah satu korban penyerangan  itu. Penyerangan yang ia  lakukan bersama  orang-orang di kampungnya.  Rasa bersalah membayangi perasaan Adit yang kian tidak menentu.
***
Malam  ini pikiran Adit kacau. Hatinya diliputi kerisauan dan kegelisahan. Kejadian yang terjadi belakangan ini benar-benar mengusik ketenangannya. Setiap saat muncul sosok perempuan tua yang ditemuinya di Rumah Sakit dan wajah Kak Fajar yang tergambar jelas di ingatannya.
“ Kasihan sekali mereka, mereka tak tahu apa-apa tapi mengapa harus mereka yang jadi korban “
Rasa bersalah terus menerus menghantui pikirannya tapi terus menerus pula ia mencoba membela dirinya.” Ah, tidak ada perang  tanpa ada korban salah sasaran, mereka hanyalah korban-korban di luar perencanaan” ungkapnya menghibur diri.
Namun akhirnya pertarungan batinnya mereda setelah ia mencoba  untuk mengabaikan egonya.   Seharusya kejadian itu tak perlu terjadi. Seharusnya tak boleh ada lagi korban -korban seperti Beni. Oh, kenapa kami memerangi orang -orang kampung Mawar hanya karena tiga begundal itu. Sungguh tidak adil jika kami menyebut “mereka bertiga”  dengan ” mereka semua”. Cintaku pada sahabat dan kampungku begitu besar tapi kenapa cinta itu kubiarkan menjadi benih -benih bencana. Bukankah cinta selalu mendatangkan kedamaian. Maafkan aku Tuhan jika aku melukai dan membunuh atas nama cinta. Kemana sesungguhnya arah perjuanganku?. Dulu pahlawan-pahlawan itu berjuang untuk mempersatukan saudara-saudaranya di nusantara ini, tapi kini kami berjuang untuk memerangi saudara kami sendiri”

(by Jihan Tary  Published in kdi pos: October 22nd 2011)

Selasa, 12 Februari 2013

PUISI 4


MADRASAHKU

Di ujung desa dekat jembatan
Bangunan tua berdiri kokoh
Tiangnya mulai rapuh dimakan usia
Tapi sejarah belum berhenti di sana

Madrasahku....
Jasamu tak sebanding dengan rupamu
Di bawah atapmu
Kerudung-kerudung putih berjajar rapi
Dalam balutan kerudung itu wajah lugu nan suci tersenyum ceria
Para anak lelaki dengan kopya hitam menyapa gembira
Sedang tangan mereka memeluk kitab di depan dada

Madrasahku...
Di sana dulu kami menimba ilmu
Ilmu akhirat dan ilmu dunia
Banyak kenangan yang selalu terkenang
Tersusun rapi seperti atap-atapmu yang kusam

Madrasahku....
Pohon itu kini menua
Rantingnya mulai kurus kering keriput
Tapi rumput-rumput itu tetap saja muda
Karena dipangkas setiap saat

Seperti kami...
Kami datang dan pergi silih berganti
Membawa kabar gembira ke penjuru negeri
Anak-anak muda berakhlak mulia dan tangkas
Siap mengabdi untuk bangsa dengan ikhlas

Madrasahku...
Suatu saat kau akan rebah atau sama sekali berganti wajah
Tapi jejakmu akan tetap kami kenal
Di sanalah kaki-kaki kami dulu menapak
Meninggalkan bekas yang tak akan pernah lepas

Sebab madrasahku...
Dari sanalah kami mengenal hikmah
Mengenal kelembutan dalam kerasnya kehidupan
Mengenal terang dalam gelapnya peradaban
Mengenal senyum dalam tangis yang memilukan

Madrasahku...
Lepaskankan pelukanmu
Sudahi ratapan itu
Dan bebaskan lengan kami
Biarkan kami terjun dalam peperangan
Memperjuangkan kemenangan untuk negeri dan agama ini

PUISI DUKA

Seorang gadis kecil berkerudung kusut
Duduk seorang diri di tengah padang rumput
Matanya memandang hamparan luas
Sedang jari-jari kecilnya memegang pena dan secarik kertas

Dia ingin menulis layaknya pujangga
Mengukir kata indah dalam untaian bahasa
Menari-nari dalam kiasan kata
Bernyanyi dalam merdunya suara hati

Tapi ia galau
Penanya tak beringsut dari satu titik
Tak ada goresan di kertas itu
Tak ada kebahagiaan yang pantas diukir
Ia lalu bertanya...
Apakah puisi hanya untuk kebahagiaan?
Pantaskah duka diabadikan?

Daun kering jatuh di hadapannya lalu berkata
“Tulislah tentangku, daun kering malang
Diceraikan ranting, dihempas badai
Tapi tulislah di penghujungnya bahwa bahagia akan selalu ada
Sebab akhirnya aku jatuh dan bertemu denganmu hai anak manis berhati mulia”

Anak itupun mulai menulis
Puisi duka tentang  hidupnya yang lara
Lalu disisipkannya doa di ujungnya
Untuk akhir yang bahagia
                                                                                       
                                                                               (Kendari, 9th Feb 2013 )
DENDAM KESUMAT

Sudah barang tentu waktu berlalu
Membawa kenangan dalam sulaman ingatan
Satu dua peristiwa terseret waktu
Terbawa dalam langkah seribu

Kucoba lemparkan ia ke masa lalu
Tapi kenangan itu terlalu pilu
Terbayang slalu dalam benakku

Kebencian pun datang mendekat
Mencengkeram hati dendam kesumat
Dialah sebab dari semua akibat
Yang pernah membuat hatiku tersayat

Kebencian itu kini jadi amarah
Sesakkan  dada nafas terengah
“Matilah kau” kataku pongah
Layaknya  singa yang haus darah

Di pelupuk mata terlukis kata
Yang pernah ku dengar dari ibunda
“Maafkanlah, lapangkan dada
Maka hidupku akan bahagia”
Seketika aku tersadar
Mohon ampun ucap istigfar
                                                                               (Kendari, 10th  Feb 2013 )








PUISI 3


PASRAH

Padamu aku berserah
Kutumpukan segala resah
Kusyukurkan segala berkah

Kadang kucoba berpaling dari padamu
Kiranya ada yang lebih kasih dan peduli padaku
Lalu kuberlari meninggalkanmu
Kuturuti ajakan nafsu

Pada pertengahan jalan
Kau bisikan hikmah dalam dadaku
Tapi kubilang aku bosan
Lalu aku terus berlalu

Di ujung jalan itu ternyata jurang
Aku terperosok ke dalamnya
Lalu berteriak minta tolong
Dan kau datang sebagai yang pertama

Dalam sesal aku berlutut
Di hadapanmu aku bersujud
Kaulah satu-satunya yang pantas dan patut
Hanya padamu ake bersembah
                            (2011,19 th Dec 21:21 pm in a very hot room)

IBUKU BURUH TANI

Ibuku buruh tani
Datang ke sawah tiap pagi
Pulang menjelang petang

Betisnya kokoh menopang badan membungkuk
Bergumul lumpur kotor meliat
Tangannya mengayun mengikuti irama jantung tak tik tuk
Jari bergerak cepat dan tepat
Menancapkan  padi di permukaan tanah
Lelah... lelah katanya mendesah

Panas mentari membasuh kulit
Peluhnya asin menyambar bibir
Dibiarkan saja biar tak payah bangkit
Berdiri lagi lelahnya bikin badan sakit

Merpati lalu tepat di atasnya
Ibanya teteskan airmata
Ibuku mendongak dan berkata
“Merpati...
Jangan kasihani aku
Hidupku adalah kerja
Amalku buat anak di rumah tertawa
Kasihanilah mereka
Anjing berdasi dalam gedung bertingkat
Yang dengan satu ketukan palu
Membebaskan para penghianat
Dan pada coretan tanda tangan bagai liukan kawat
Membuat rakyat melarat
Berapa banyak tumpahan tangisnya kelak diakhirat”

GADIS MALANG

Senja redup awan melungkup
Kelelawar lepas ke angkasa luas
Pohon malas daun meniung
Petani lelah berkemul sarung
Dingin... dingin... malam temaram

Duhai gadis berhati bingung
Wajah murung duduk termenung
Mata kosong menembus gunung
Menanti abang pulang ke kampung

Bunda belai rambut  Si gadis
Hitam lurus tergerai manis
Sudahlah sayang hari sudah gelap
Masuklah ke kamar tidurlah lelap

Gadis menangis dalam pelukan
Bilakah abang kan pulang?
Tanya Si gadis harap jawaban
Abangmu kini suami orang
Demikian jawaban untuk Si gadis malang
Dingin... dingin... malam temaram

                                                             (Kendari, 26 februari 2012)